So you’re projecting your standard of life to me?

Photo by Christian Mackie on Unsplash


Rasanya takut, karena berbeda dengan yang lainnya, takut sendirian, tidak punya teman. 


Aku berbeda, tidak seperti mereka, walaupun mencoba untuk menjadi seperti mereka, aku tidak nyaman dengan diriku sendiri.



Bhante Uttamo, salah satu Bikku, mengatakan hal seperti ini di Podcast Endgame-nya Pak Gita Wirjawan:

Ketika anak bisa menjawab di kelas, gurunya memberi pujian “anak pintar”, apakah yang tidak menjawab berarti tidak pintar?.

Ketika kita datang seorang sendiri pada suatu acara, ada yang menanyakan, “Loh, kok sendirian?” dalam hati then why?



Pak Bhante juga menyatakan bahwa, ketika orang tersebut bertemu dengan orang lain yang tidak sesuai dengan keyakinannya, standard hidupnya, orang tersebut cenderung mempertanyakan hal tersebut, yang lebih parah, hingga menyudutkannya. Contohnya,

Ketika aku menjadi anak yang suka duduk di belakang kelas, mayoritas orang cenderung memintaku untuk duduk di depan. Orang yang duduk di depan, dinilai lebih rajin, memperhatikan guru/dosen, dan hal lainnya. Padahal bukan berarti yang duduk di belakang adalah anak yang tidak lebih rajin atau anak yang tidak memerhatikan. Jadi itu standard siapa? Bagaimana bila aku duduk di belakang hanya karena aku tidak nyaman menjadi orang yang mudah dilihat oleh dosen/guru ketika duduk di depan?



Contoh lain yang sering  aku temui misalnya:

  • Mengapa harus sekolah jauh-jauh?
  • Hari sudah petang, tapi mengapa masih belum pulang?
  • Ngapain mau lanjut S2? Menikah saja kamu.
  • Nanti kalau kamu sudah S2, kasian nanti pasanganmu
  • Loh kok kamu suka ngerjain mepet-mepet sih?
  • Kasihan ya dia perempuan tapi harus kerja keras siang malam.
  • Aku sih lebih milih yang cowok ya, karena lebih tegas gitu.
  • Kamu kok gendut sih? 
  • Jerawatmu gitu banget deh, kamu harus coba ini dan itu.
  • Kamu kok pendiam, sepertinya kamu harus mencoba untuk lebih terbuka ke orang lain. 
  • Kamu hitam pasti suka keluyuran terus ya?
  • So on and on and on



Ketika ditelusuri, ternyata menghakimi itu ada ketika apa yang kita lihat dan dengar tidak sesuai dengan hal yang kita alami atau yang terjadi pada diri kita. Tapi manusia sulit untuk tidak membandingkan satu sama lain. Kecuali diri kita sendiri terbiasa dengan kata-kata “yasudah, orang memang berbeda, mereka tidak bisa seperti kita, begitu juga sebaliknya. Start kita berbeda, pola pikir kita berbeda tanpa ada rasa aku lebih buruk atau mereka lebih baik atau sebaliknya, tetapi, we’re just different lalu kembali fokus ke aktivitas sehari hari.



Seseorang menghakimi orang lain bila yang terjadi tidak sesuai ekspektasi dirinya. Orang cenderung mudah untuk menghakimi dan meremehkan orang lain. Bagaimana bila itu personality? Bagaimana bila itu karakter? Apakah harus mengubah personality hanya karena memenuhi keinginan orang lain? Boleh mengubah personality bila itu memang alasan personal kamu. Kamu berhak untuk menjadi lebih baik atas diri kamu sendiri. 



Hal yang ingin aku sampaikan di sini adalah, tolong, jangan taruh diriku di kotak-kotak yang ada dalam hidupmu. Perempuan boleh suka warna biru, laku-laki boleh suka warna merah muda.


Bagaimana pendapat kamu?

Share di kolom komentar bawah ya!


- Nabilah Kusuma Wardhani


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.