my covid story (finally I have lol)

Take aways:

COVID-19 is real, bener-bener mencuci tangan, pakai masker dan jaga jarak saja tidak cukup. Ketika kamu sudah menjaga jarak, namun orang lain yang kurang patuh selalu mendekat. Kamu bisa apa? Terlebih orang lain tersebut adalah orang yang mudah percaya dengan hoax sehingga sulit untuk diminta vaksin, sulit untuk dihimbau menggunakan masker. Ketika sudah menggunakan masker, dilepas ketika berbicara. Dan masih banyak lagi. Situasinya seperti ini, di sini aku sadar, penting sekali mengedukasi orang lain, sebagaimana mereka ingin diedukasi. Bukan kita yang menyuruh-nyuruh mereka untuk melakukan sesuatu (siapapun itu pasti malah melakukan sebaliknya bila disuruh-suruh).


Walaupun kamu sudah menghindar, orang di sekitarmu memberikan peran juga. Bimbing mereka, ajak mereka untuk mau melakukan hal-hal baik demi kepentingan bersama. Bukan hanya kepentingan mereka saja. Atau bahkan kepentingan dirimu sendiri.




 

The story:

Beliau terbatuk, terdengar seperti batuk kering. Untung saja tidak demam. Namun mengeluhkan pusing. Sudah 3 hari lamanya, tepat pada hari ketiga itu, ibuku mulai ikut batuk. Keesokan harinya, disertai demam. Suhu di thermometer menunjukkan 37,9oC dengan sturasi oksigen 94 yang ditunjukkan oleh oximeter. Kecurigaanku mulai muncul. Aku melepon pelayanan tes antigen yang bisa melakukan pelayanan dari rumah ke rumah. Alhasil, kedua orang tua ku positif COVID-19. Aku dan adikku adalah lawannya.


Tak sempat duduk bersama pada saat hasil keluar, aku langsung melanjutkan aktivitasku, pada saat itu sedang melakukan Instagram Live sebagai moderator di salah satu akun. Setelah selesai, aku tidak melanjutkan aktivitasku (pada saat itu ada agenda meeting persama salah satu start-up company) namun izin untuk mengetahui kondisi orang tuaku dan mencari tau obat-obatan yang dibutuhkan.


Sempat terbayang berita orang tua dari beberapa temanku yang sudah lebih dahulu pergi meninggalkan dunia, namun di sisi lain, aku optimis bahwa orang tuaku kuat, dan ini gejalanya tidak parah. Bersyukur sekali, fasilitas layanan Kesehatan dekat rumahku baik sekali. Keesokan harinya, seorang dokter datang ke rumah untuk follow up dan memberikan obat secara gratis. Dokter tersebut juga menawarkan swab antigen gratis, namun kami tolak karena keluarga kami sudah melakukan swab secara mandiri sebelumnya.


Bersyukur lagi, karena aku menempuh Pendidikan di bidang Kesehatan sehingga aku merasa ilmuku berguna kali ini. Orang tua ku mendapatkan obat penurun panas, pengencer dahak, beberapa vitamin dan juga zinc (iya zinc). Penyemprotan desinfektan juga dilakukan di seluruh rumah untuk meminimalisir penularan. Aku dan adikku yang sama sama calon tenaga Kesehatan mendadak menjadi super paranoid di rumah.


Memisahkan tempat makan, tempat cuci-cuci, kamar terpisah, kamar mandi terpisah, semua aktivitas orang tua kami terbatas di kamar. Selalu menggunakan masker dan sarung tangan (khusus aku dan adikku).


Merasakan seharian mengurus rumah dan kuliah serta aktivitas di luar kuliah adalah hal gila. Capek juga ternyata. Biasanya aku tidak perlu memikirkan mau makan apa hari ini. Namun, hari pertama, kami harus memasak dan memikirkan menu sehat kaya protein (dan vegetarian khusus ibuku). Di tambah apapun yang serba menggunakan masker dan sarung tangan. Pukul 9.30 malam ketika kedua orang tua ku sudah siap untuk beristirahat, aku pun ke kamarku untuk menyelesaikan beberapa aktivitas hingga pukul 12 atau 1 dini hari (karena sejak pagi-sore, ketika mengerjakan sesuatu, seringkali dipanggil oleh orang tua karena meminta bantuan ini dan itu. Sehingga baru bisa fokus mengerjakan tugas itu malam hari). Tidak lupa untuk mengecek ke kamar ibu dan ayah sekitar pukul 1.30 am atau sebelum aku tertidur untuk sekedar mengecek kondisi beliau (saturasi oksigen dan suhu, serta mengambilkan air minum bila membutuhkan). Terus menerus seperti ini hinggal hari ke 7 per-COVID-an ini, aku jatuh sakit. 


tbc

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.