Why are you mad? When you could be glad?
Hi! Long time no write 😀 Kebetulan sudah akhir bulan dan target menulisku di bulan April belum
terpenuhi, jadi mari kita menulis!
“Bah! Pahit banget, orang ini
gabisa masak kali ya!”
“Kerasa banget! Kerasa angusnya
hahaha, gimana sih kamu kalo masak? Kok bisa sampe gosong?”
“Amis banget, pasti kurang lama
kalo ngerebus pake bumbunya, jadi masih bau amis!”
“Kurang empuk, keras banget ini
makanan apa?”
--
Why are you mad? When you could
be glad?
Kasarannya seperti salah satu
kalimat dari lagu You Need to Calm Down dari Taylor Swift. Sebagai manusia yang
memiliki akal, dapat merasakan nyaman dan pastinya ingin dalam suasana nyaman,
hal-hal yang dirasa tidak memenuhi ekspektasi diri sendiri, akan membuat
seseorang tersebut kesal secara spontan. Hal itu normal, namun coba simak paragraf
di bawah ini.
Photo by Joanna Kosinska on Unsplash |
Makanan ini ada di depan mataku. Buah
semangka berbentuk balok kecil-kecil yang sudah siap untuk dilahap dengan garpu.
Tampak segar sembari aku menunggu waktu berbuka puasa. Adzan berkumandang, tak
lama setelah berdoa dan meminum segelas air putih, aku menyantap buah semangka
ini. Terima kasih kepada ibuku yang sudah memotong dan menyiapkan semangka ini
di piring favoritku. Terima kasih kepada penjual semangka di pasar yang sudah
membuat semangka ini lebih mudah diakses oleh ibuku. Terima kasih kepada seseorang
diluar sana yang telah mendistribusikan semangka hingga sampai dipenjual
semangka, sehingga penjual semangka itu mendapat nafkah dari hasil penjualan
semangkanya. Terima kasih kepada petani semangka, jerih payahmu menanam biji,
menyirami, dan menjaga semangka ini agar tumbuh dan dapat dipanen, terima kasih
banyak! Terima kasih kepada Tuhan, Allah SWT yang telah menciptakan semangka.
Nikmat sekali rasanya, semangka
yang dihidangkan begitu saja, tanpa diolah sedemikian rupa, terasa sungguh
nikmat bila kita memilih untuk bersyukur. Walaupun faktanya, semangka yang
dihidangkan itu hambar dan tidak dingin karena tidak dimasukkan lemari es. Ini baru semangka, belum kalau kita makan rendang, pasti terima kasihnya lebih banyak dan lama banget sampe makanannya abis pun belum selesai kita bilang terima kasih kepada orang yang udah berkerja keras banting tulang hingga rendang itu ada di hadapan kita.
Ketika kita makan
daging yang mungkin kurang lunak. Marah-marah karena daging yang keras, bagu
gosong dan porsinya hanya sedikit tidak akan mengubah keadaan dan aku rasa
manfaat yang didapatkan pun tidak ada. Bagaimana bila kita berterima kasih saja
kepada puluhan orang yang terlibat dibalik sana yang berjuang untuk menafkahi
keluarganya dari daging yang ada di depan mata kita ini?
Gosong, keras, hambar dan lain
sebagainya tentu hal di luar kendali kita. Pada nyatanya, tidak semuanya akan
sesuai dengan ekspektasi kita, siapa kita? Sehingga semesta rela melakukan
apapun demi memenuhi ekspektasi kita? Hal yang dapat kita kontrol tentu diri
kita sendiri, seperti memilih untuk bersyukur, atau sesederhana memberikan
saran kepada penjual daging tadi agar selanjutnya tidak ada orang yang
dikecewakan.
Membiasakan diri untuk bersyukur,
menjaga pikiran untuk mensyukuri makanan daripada memikirkan pekerjaan,
memikirkan tugas, dan lain sebagainya ketika makan memang membutuhkan Latihan. Ini
salah satu contoh. Bisa diterapkan juga ketika kamu lagi suntuk karena macet, Lelah
tidak bisa tidur, dan lain sebagainya. Tidak ada salahnya untuk mencoba bukan? Be
present
Tidak ada komentar: