Minta saja yang terbaik.
April sampai Agustus. Empat bulan
ini, selalu menjadi bulan yang spesial bagi murid tingkat akhir di jenjangnya masing-masing. Sudah
selesai ujian nasional, namun tidak bisa merasa senang terlalu lama karena
belum mendapatkan kejelasan, akan melanjutkan sekolah di mana? Kuliah di mana?
Keluarga yang berperan sebagai support system utama, justru bisa
berperan 180o. Pertanyaan pertanyaan yang sebaiknya tidak mereka
tanyakan, ditanyakan. Bahkan, sebagai bahan basa-basi. Misalnya, sudah dapat universitas?
Kemarin keterima SNMPTN? Kamu kok belum aja dapet universitas? Penangguran ya
sekarang?
Hal di atas sudah pernah aku
alami. Kalau aku mau ngasih tau, pasti
aku kasih tau kok. Bagi anak yang belum beruntung di jalur SNMPTN,
bagaimana rasanya jika ada orang yang tidak kamu harapkan untuk tau, menanyakan
hal seperti di atas?
Sebagai korban SNMPTN pula, aku
pernah merasakannya. Namun, aku masih biasa saja. Karena Universitas dan
Jurusan yang aku pilih di SNMPTN terlalu gambling
dan tidak rasional bagiku. Di sisi lain, sampai sekarang aku masih tidak
paham betul mengenai factor-faktor yang menjadi pertimbangan penerimaan melalui
jalur SNMPTN, hal ini yang membuat sedikit kecewa. Sifat idealisku mendorongku
untuk berfikir “yaelah yakin mau pilih
jurusan yang menurutmu biasa-biasa aja di SNMPTN demi keterima lewat jalur SNMPTN?
Lemah banget dah”. Waktu itu aku memilih Jurusan Pendidikan Dokter di
Universitas Airlangga. Pada tahun itu, di SMA-ku, ada 11 anak dengan nilai
lebih baik dariku memilih jurusan yang sama. Anak pada peringkat pertama, pernah meraih juara 1 pada lomba
yang diadakan Jurusan Pendidikan Dokter, Universitas Airlangga. Terlihat bunuh
diri memang, tapi aku tidak membayangkan pula jika harus diterima di
Universitas lain, jurusan lain sedangkan aku belum menanyakan kepada pendidikan
dokter Universitas Airlangga, apakah kamu mau menerima bocah idealis yang keras
kepala ini? Ternyata
jawabannya tidak mau.
Sedih, pasti. Kesedihan ketika
aku mendapat jawaban tidak melalui jalur SNMPTN, menjadi semangatku untuk
belajar lebih giat lagi mempersiapkan
SBMPTN. Semua menganggap soal SBMPTN itu susah, memang iya. Bersama
teman-temanku pejuang SBMPTN, kami belajar mati-matian. Buku jitu SBM, buku
dari bimbel semua dibahas habis. Sudah mendapat jawaban tidak dari Universitas
AIrlangga, namun aku tidak menyerah dan tetap berpendirian kokoh (ini kayanya
emang aku yang batu). Hingga tiba saat pengumunan, dan aku mendapatkan jawaban
tidak. Tetap semangat katanya. Momen
setelah pengumuman SBMPTN adalah Lebaran dan aku paling benci lebaran tahun ini
karena semuanya pada nanya “KULIAH DIMANA?!” Huh.
Kesedihan tidak diterima di
perguruan tinggi lewat jalur SBMPTN ini benar-benar menamparku, sampai aku
tidak bisa menangis, mungkin karena terlalu sedih. Hal yang membuatku seperti ini adalah aku
takut dengan pendapat orang lain, persepsi orang lain tentang diriku, aku tidak
siap mendengar orang lain yang membicarakanku dan meragukan kemampuanku. Semua
hal yang membuatku bersedih adalah pikiran-pikiran yang aku tidak tau pasti
kebenarannya. Bodoh memang. Memilih jurusan saja aku masih saja batu. Pingin
menjadi dokter, namun tidak sadar dengan kemampuanku dan idealis sekali ingin
Universitas dengan acceptane rate
yang kecil.
Aku menghilang. Benar-benar menghilang
dari media sosial dan teman-temanku karena hal-hal di atas. Ketika SMA aku
adalah anak pendiam, yang suka mencatat, penjelasan apapun dicatat, dan nilai
ketika ulangan pun tidak terlalu buruk, namun kenapa tidak kunjung mendapat
Universitas?
Menjadi dokter memang cita-citaku
sedari kecil. Bukan karena paksaan orang tua atau siapapun. Keluargaku pun
tidak ada yang memiliki profesi dokter. Niatku cuma satu, ingin menjadi orang
yang bermanfaat bagi orang lain. Terus nab, kalo ingin bermanfaat bagi orang lain
apa harus menjadi dokter? Yakin cuman itu alasannya?
Oke, sekarang saatnya perang lagi
di jalur mandiri. Timeline
pendaftaran di Universitas di Indonesia aku buat dan ditempel di dinding kamar.
Aku ikut bimbel privat kali ini, demi bisa mendapatkan Universitas.
Selain itu, aku juga ikut pameran-pameran Universitas di luar negeri. Waktu itu
terbisik kepadaku dan orang tuaku untuk melanjutkan kuliah di Jerman,
dikarenakan saat mengikuti pameran dan melihat penjelasan dari agen pendidikan
tersebut, biayanya tidak jauh beda dengan biaya kuliah jalur mandiri (Karena
sudah pasti aku akan menjadi mahasiswa jalur mandiri). Kemudian, 1 tahun bisa
dimanfaatkan untuk belajar bahasa Jerman terlebih dahulu, mengingat, ketika
kuliah di Jerman harus melakukan penyetaraan dan mendapatkan sertifikat yang
membuktikan bahwa kamu bisa bahasa Jerman. Tapi kurangnya niat dan motivasi, akhirnya tidak melanjutkan proses pendaftaran dan persiapan semua ini.
Universitas apa saja nab yang
kamu ikuti pendaftaran jalur mandirinya? Universitas Jember, Universitas Negeri
Malang, Simak UI, Undip, Unsoed, ITB, UNS dan ITS yang menggunakan nomor
SBMPTN sebagai nomor pendaftaran, UIN Malang, Politeknik Negeri Malang dan
Universitas Brawijaya. Sepuluh universitas ya? Iya, jadi sudah mengerti betul gimana rasanya tidak diterima. Jika perguruan
tinggi negeri belum bisa menerimaku, Universitas Swasta seperti UMM, Ma Chung
dan UHT ada dalam rencanaku.
Waktu itu seperti hidup di jalan karena harus mondar-mandir
melengkapi kriteria pendaftaran dan mengikuti tes seleksi beberapa universitas
yang lokasi tes nya tidak di Kota Malang tempat aku tinggal. Kabar baik yang
pertama kali aku dengar dari Universitas Jember. Pilihan pertama memang
kedokteran, namun pilihan kedua-lah yang menerimaku, teknik sipil. Bagaimana
ketika seorang Nabilah Kusuma menjadi mahasiswa teknik sipil?. Waktu berfikir
sekaligus tenggang untuk melunasi biaya kuliah selisih satu hari dengan pengumunan
di Universitas Brawijaya. Aku dan keluarga harus berangkat ke Jember untuk
melakukan negosiasi supaya pelunasan biaya kuliah bisa ditunda dua hari,
alasannya waktu itu karena terkendala biaya, kenyataannya, aku sedang menunggu
pengumunan di Universitas Brawijaya. Ketika perjalanan pulang dari Jember, ada
informasi bahwa pengumuman seleksi mahasiswa di Universitas Brawijaya
dimajukan. Seharusnya lusa, jadi hari ini, dini hari. Setelah sholat malam, aku
tidak langsung bergegas membukanya, aku membuka pengumunan keesokan paginya.
Ini adalah kabar baik kedua yang aku terima. Alhamdulillah, aku waktu itu tidak
tau harus bersyukur atau sedih. Bersyukur pertama, namun ada sedihnya. Setelah
di tolak SBMPTN, di setiap sholat dan ketika berdoa, aku hanya memohon untuk
diberikan yang terbaik oleh Allah SWT. Apapun hasilnya, aku akan menerimanya
dengan lapang dada, karena Engkau tahu yang terbaik bagi hamba-Mu.
Aku bersukur diterima sebagai mahasiswa
Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Brawijaya. Untuk tahu alasannya dan apa
rencana terbaik yang diberikan Allah SWT kepadaku ya menjalani perkuliahan di
FKG UB dengan sebaik-baiknya. Nanti kamu
akan merasakan dan mengerti bahwa ini adalah yang terbaik nab. Pendidikan
dokter gigi menjadi pilihan pertamaku ketika mengikuti seleksi jalur mandiri di
Universitas Brawijaya, pilihan keduanya adalah Farmasi dan pilihan ketiga
Biomedik. Pendidikan dokter sudah aku lupakan saat itu, hatiku dan otakku si
batu sudah lebih luluh dan paham atas kemampuanku, bahwa mungkin memang aku belum
mampu untuk jurusan itu.
…dan aku ikut SBMPTN lagi di tahun pertama
menjadi mahasiswa FKG UB.
👍🏻💪🏻💪🏻 mantabs nab, inspiring bagi yang lagi ndak keterima di banyak test
BalasHapusWah ganyangka dibaca sama kevin wkwk, jadi inspiring bareng lebih seru,vin. Ayo saling menginspirasi
Hapus#janganmenyerah
BalasHapus#akanindahpadawaktunya
iya Fir, udah indah kan udah dapet gelar sarjana kamo dan sekarang dirumah aja sampai waktu yang ditentukan
Hapus