I wish I knew this when I was 17





Agustus 2018, waktu itu aku menjadi team leader di AIESEC, salah satu organisasi untuk pemuda yang fokus pada leadership development. Aku sedang melakukan bincang-bincang santai dengan teammates aku dan kakak-kakak vice president yang banyak sekali memberi insight baru. Hal yang paling aku ingat adalah perbincangan mengenai why, how, what dan personal branding. 


I wish I knew this when I was 17. Waktu itu aku berusia 20 tahun kurang satu bulan. Sudah 2 tahun 11 bulan dari usia 17 tahun. Lumayan banyak yang terlewat. 

Salah satu kakak di AIESEC bilang, you should ask yourself why before doing something. Five times at least. Ketika kita melakukan suatu hal, bila tidak tahu mengapa kita melakukan hal itu, maka kebanyakan kita hanya membuang-buang waktu saja. 

Sebagai contoh, aku tidak begitu mengerti mengapa aku mengikuti program pertukaran "Global Citizen" di 2017 yang namanya berubah menjadi "Global Teacher" pada 2020. 

Aku menghabiskan waktuku di Malaysia selama 6 minggu untuk mengikuti program tersebut. Tinggal sebagai satu-satunya orang Indonesia di antara peserta pertukaran lainnya. Aku adalah Nabilah yang pemalu, pendiam, dan tidak berani menginisiasikan sesuatu hal, kecuali lewat teman dekatku. 

Pengalamanku di Malaysia saat itu mungkin akan lebih berkesan bila aku mengerti  diriku, secara personal, sebenarnya seperti apa. Sudah ada outgoing dan incoming preparation seminar untuk mempersiapkan apa yang harus aku lakukan ketika menjalani program. Seperti personal goal setting, set expectation, dan hal-hal yang ingin aku capai. Namun rasanya mindset-ku masi belum begitu terbuka waktu itu atau aku yang belum berdamai dengan diriku. Aku yang sudah mengenal MBTI, hanya mengetahui MBTI ku adalah INTJ. Tidak mengerti apa itu kelebihan dan kekurangan introvert, intuitive, thinking, and judging. Padahal, bila aku mengerti bahwa aku seorang introvert, seharusnya aku paham bahwa memang aku akan kehabisan energi ketika terlalu banyak berinteraksi dengan orang. Namun pada saat itu, aku justru minder karena tidak bisa menikmati percakapan dengan teman-temanku. Aku minder karena aku anaknya terlalu planning sedangkan teman-temanku kebanyakan banyak melakukan improvisasi. Seharusnya aku bisa menerima keadaan itu, karena memang mereka berbeda. Tidak memendam rasa kesal dan hanya diam saja. 


Aku menikmati masa-masa 6 mingguku di sana, namun alangkah lebih nikmat bila aku mengerti tentang personal branding sebelum aku berangkat kesana. Bila aku menerima diriku. 


Ketika menjadi team leader di AIESEC, di akhir kepengurusan, aku mencoba apply menjadi vice president, namun ternyata bukan jalanku. Lalu aku banyak merefleksikan diriku atas kejadian itu. 
Ternyata aku belum banyak mengerti diriku. Ketika ditanya tentang SWOT diri sendiri pun aku masih berpikir, ketika ditanya nilai yang aku pegang dalam hidup pun aku masih berpikir. Menurut kakak yang mewawancaraiku, aku seperti tidak menerapkan apa yang aku tulis di essay tersebut. Aku tidak menerapkannya dalam sehari-hari. Hanya menuliskannya saja. Yaa, pantas saja aku kesulitan menjelaskan, meng-elaborasi jawabanku di kertas ketika wawancara. 

Selepas itu, aku banyak introspeksi dan journalling. Menulis, siapa sih aku? apa sih yang aku mau? Tidak lagi tulisan, tetapi aku terus menantang diriku, untuk mencoba hal yang aku tidak nyaman. Seperti berbicara atau berinteraksi dengan orang lain. Awalnya hanya ingin membuktikan kalau introvert itu bukan gabisa ngomong. Bisa ngomong, mungkin kita ga se frekuensi aja. Ahh, andai aku tahu tentang hal-hal seperti ini sejak SMA, sebelum 17 tahun.


Sekarang, ketika mengingat masa-masa kelam itu. Aku tertawa dan bilang pada diriku sendiri "ngapain dah lo dulu nab, pantes aja ga kepilih jadi VP, pantes aja cerita Global Volunteer lo kurang ngena"


dan ternyata aku pun bersyukur atas semua hal itu. Hal-hal yang membuatku belajar banyak sekali hal. Definisi enjoy the process, itu bukan gagal, tetapi ada jalan yang lebih baik, itu 100% benar. Menurutku. 


Agustus 2020, sebagai kakak yang memiliki satu adik perempuan, berbeda 5 tahun, dia sekarang masih 16 tahun, aku menerapkan prinsip bahwa adikku harus lebih baik dari diriku. Hal yang aku dapatkan dari AIESEC, pelajaran hidup ketika kuliah, banyak sekali yang aku ceritakan ke adikku. Dia mengerti MBTI dan isinya (kelebihan dia dan cara mengembangkannya, kekurangan dia dan diri dia seperti apa) lebih awal dariku, akhirnya dia bisa menimbang-nimbang dan menentukan jurusan yang dia pilih ketika kuliah. Dia mengerti personal branding, bagaimana membangun branding di media sosial, bagaimana bersikap terhadap teman, guru dan keluarga. Bagaimana cara untuk kembali dalam mood ketika sedang stress. Dia open-minded di usia yang lebih muda daripada aku. Aku mengapresiasi diriku atas hal ini. Paling tidak, aku memberi tahu kepada dia hal-hal yang aku ingin tahu di usia 17 "i wish i knew this when i was 17, and i told my sister those things before she is 17" Aku merasa seperti menjadi mentor disini, mentor selama hidupnya. I'll improve my self for myself and people around me. Mungkin orang lain belum mendapatkan hal tersebut. Gladly, I share my stories, my failures, my experiences. Gladly, I hear your stories, your failures, your experiences. 

Satu kalimat yang memotivasiku untuk terus melakukan hal ini adalah "If you want to go fast, go alone. If you want to go far, go together." Aku tidak ingin sendiri, aku ingin berkembang bersama sama, karena sesuatu bila dilakukan atau dikerjakan bersama, dalam hal kebaikan, aku percaya, dampaknya akan lebih besar. 

If you said " i wish i know this before", just share to other what you know right now, to the right people. Putting hope that others will not regret something like "i wish i knew this before".

-Nabilah Kusuma Wardhani

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.